Thursday, April 5, 2007

Jangan Tidur Sebelum Berwitir!


Jangan Tidur Sebelum Berwitir!


Oleh: Dewan Asatidz
-------Tanya:-------Assalamu'alaikum Wr Wb.Mohon dijelaskan hadits "Janganlah pergi tidur dulu sebelum melakukan shalatWitir".Apakah yang dimaksud adalah melakukan shalat malam (tahajud)?, karena disana ada shalat witirnya?Saya sering pulang malam (karena pekerjaan), jadi sebelum tidur saya shalatWitir dulu 3 rakaat. Apakah itu termasuk yang dimaksud dengan hadits tadi?Terima kasih atas penjelasannya.Wassalam,Dindz--------Jawab:--------Wa'alaikumussalأ¢m wr. wb.Sebelumnya, dimohon setiap konsultasi untuk menyertakan biodata.Diantara madzhab-madzhab fikih, hanya Abu Hanifah yang berpendapat wajibnyashalat witir. Sementara yang lain hanya menganggapnya sebagai sunnat muakkad[kesunaatan yang benar-benar dianjurkan]. Bahkan kedua murid Abu Hanifahsebagai pemegang otoritas utama madzhab Hanafiyah juga beranggapan sama,yakni hanya sunnat muakkad.Shalat witir adalah "shalat ganjil", yang didasarkan pada hadits NabiMuhammad: "Sesungguhnya Allah adalah witr [ganjil] dan mincintai witr [HR.Abu Daud]. Shalat ini dimaksudkan sebagai pemungkas waktu malam untuk"mengganjili" shalat-shalat yang genap. Karena itu, dianjurkan untukmenjadikannya akhir shalat malam. Apabila seseorang berkehendak untuk shalattahajjud pada malam hari, maka sebaiknya ia tidak menunaikan salat witirmenjelang tidur, tapi melaksanakannya setelah shalat tahajjud. Namun jika iatidak bermaksud demikian, maka sebelum tidur, ia dianjurkan untukmenunaikannya. Walhasil, shalat witir adalah shalat yang dilaksanakan palingakhir diantara shalat-shalat malam.Nabi Muhammad SAW mengatakan: "Jadikanlah witir akhir shalat kalian di waktumalam". [HR. Bukhari]. "Barang siapa takut tidak bangun di akhir malam, makawitirlah pada awal malam, dan barang siapa berkeinginan untuk bangun diakhir malam, maka witirlah di akhir malam, karena sesungguhnya shalat padaakhir malam masyhudah ("disaksikan") [HR. Muslim].Adapun waktunya adalah setelah shalat 'Isya hingga fajar. Kata Nabi MuhammadSAW: "Sesungguhnya Allأ¢h telah membantu kalian dengan shalat yang lebih baikdaripada kekayaan rajakaya, yaitu shalat witir. Maka kemudian Allأ¢hmenjadikannya untuk kalian [agar dilaksanakan] mulai dari 'Isya hinggaterbit fajar". [HR. lima sunan selain Annasأ¢iy]Demikian,Abdul Ghofur Maimoen

Aurat Muslimah di depan Muslimah


Oleh: Dewan Asatidz
Pertanyaan:Assalamu`alaikum wr. wb.Pak Ustad,Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya membuka jilbab di depan orang selain muslim walaupun dia adalah seorang perempuan, karena mereka bukan muhrim?Mohon penjelasan dari Pak Ustad dan atas bantuannya saya ucapkan terima kasih.Wassalamu'alaikum wr. wb.Arminda AryaniBatamJawaban:Assalamu`alaikum wr. wb.Aurat artinya anggota badan yang harus ditutupi seorang muslim atau muslimah. Aurat muslimah meliputi aurat yang harus ditutupi pada waktu sholat dan aurat di luar waktu sholat. Aurat muslimah pada waktu sholat adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan.Untuk yang kedua, aurat muslimah terbagi menjadi aurat muslimah di depan laki-laki (baik mahrom atau tidak) dan aurat muslimah di depan sesama muslimah dan di depan perempuan non-muslimah.Ada beberapa pendapat ulama mengenai hal ini, yaitu :Pertama, menurut Imam Syafi’i (pendiri madzab Syafi’i) dan Imam hanafi, aurat muslimah di depan laki-laki yang mahrom dan perempuan muslimah atau kerabat dekatnya adalah antara pusar hingga lutut.Kedua, menurut Imam Malik (pendiri madzhab Maliki) adalah seluruh badan kecuali wajah, kepala, leher, kedua tangan dan kedua kaki.Ketiga, menurut Imam Ahmad (pendiri madzhab Hambali) aurat perempuan adalah seluruh badannya kecuali wajah, tangan, kepala, kaki, dan betis.Bagi madzhab Hambali dan Hanafi telapak kaki bukanlah aurat. Oleh karena itu madzhab Hanafi tidak mewajibakan muslimah menutup telapak kaki dalam sholat.Sedang aurat muslimah di depan perempuan non-muslimah, pendapat Syafi’i dan Hanafi mengatakan bahwa aurat muslimah di depan mereka adalah seluruh badan kecuali yang umum terlihat ketika menjalankan pekerjaan rumah sehari-hari, artinya dalam batas menggunakan pakaian rumah.Sedang menurut Hambali dan Maliki adalah seperti aurat muslimah di depan muslimah, yaitu antara pusar dan lutut.Kedua pendapat tersebut bersumber dari panafsiran ayat : 31 surah al-Nur : Katakanlah kepada wanita yang beriman : "hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara-saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara-saudara perempuan mereka, atau "wanita-wanita" (mereka)......"Menurut Hanbali, kata "wanita-wanita (mereka)" bermakna perempuan pada umumnya, tanpa beda antara perempuan muslimah atau non-muslimah. Maka diperbolehkan bagi muslimah untuk memperlihatkan perhiasannya kepada perempuan non-muslimah apa yang diperbolehkan untuk di perlihatkan kepada muslimah dan muhrimnya.Sedang Imam syafi’i dan Imam Hanafi menegaskan bahwa kata "wanita-wanita" adalah khusus untuk muslimah, maka tidak dihalalkan bagi muslimah untuk memperlihatkan auratnya ataupun perhiasannya di depan perempuan non muslimah, kecuali dalam batas yang umum dalam menjalankan pekerjaan rumah sehari-hari.Qurtubi (seorang ulama Maliki) dalam tafsirnya (12/232) menjelaskan "Seorang muslimah tidak boleh membuka auratnya di depan non muslimah, kecuali ia adalah hamba sahayanya, sesuai dengan ayat 31 surah al-Nur". Ibnu Juraij, Ubadah bin Nasi dan Hisyam al-Qari' membenci/melarang non muslimah berciuman (cara bersalaman untuk perempuan ala Arab) dan melihat aurat muslimah, mereka menafsirkan kata "dan perempuan-perempuan mereka" dengan muslimah. Ubadah bin Nasi berkata "Umar r.a. pernah berkirim surat kepada Ubadah bin Jarrah, 'Aku mendengar bahwa wanita non muslimah, di wilayahmu, telah terbiasa masuk ke kamar mandi muslimah, maka jangan lah itu terjadi lagi, karena non muslimah tidak boleh melihat muslimah dalam keadaan terbuka aurat.'" Kemudian Abu Ubaidah menyerukan kepada rakyatnya "Barangsiapa dari kaum wanita (non muslimah) yang memasuki kamar mandi muslimah dengan tanpa alasan yang pasti, maka akan celakalah dia".Ibnu Abbas berkata : Seorang muslimah (auratnya) tidak boleh terlihat oleh wanita nasrani atau yahudi, khawatir kalau akan diceritakan kepada suaminya. Selanjutnya Qurtubi menjelaskan "Dalam masalah ini telah terjadi perbedaan antar para ulama. Kalau wanita tersebut hamba sahaya maka boleh saja melihat tuannya muslimah, kalau tidak maka tidak boleh karena telah terputusnya hubungan ukhuwah dengan non muslimah sebagaimana banyak dijelaskan."Menurut syeh Atiyah Muhamad Saqr, seorang mufti Mesir : hubungan muslimah dan non muslimah adalah seperti hubungan muslimah dengan non muhrimnya, artinya aurat mereka adalah seluruh badan kecuali telapak tangan dan muka.Jadi kesimpulannya : wanita muslimah apakah harus berjilbab di depan non muslimah? terdapat dua pendapat ulama. Untuk lebih berhati-hati tentu pendapat kedua akan lebih baik, namun aspek etika dan kemaslahatan agama tetap harus dipertimbangkan dan diperhatikan dalam masalah ini. Meskipun di sana terdapat pendapat yang mengatakan bahwa aurat muslimah di depan muslimah dan di depan laki-laki muhrim adalah antara pusar hingga lutut, namun ini bukan berarti sebatas itu seorang muslimah harus menutupi auratnya, namun yang tersirat dalam ajaran manutupi aurat adalah agar menjaga kesopanan dan tetap berhati-hati dalam bermu'asyarah meskipun dengan muhrim.Bagi muslimah, di depan perempuan muslimah dan lelaki muhrimnya harus tetap berhati-hati dan menjaga kesopanan dan hanya membuka aurat sebatas kebutuhan, misalnya karena pekerjaan rumah atau pengobatan. Apalagi di depan non muslimah atau di depan non muhrim, tentu selayaknya ia harus lebih berhati-hati dalam menutup auratnya.Wallahu a`lam. Semoga membantu.Wassalamu'alaikum wr. wb.Kuni Khairun Nisaâ€ک

Sholat Sunnah Qabliyah dan Ba'diyah Jum'at

Sholat Sunnah Qabliyah dan Ba'diyah Jum'at


Oleh: Dewan Asatidz
Assalamu 'alaikum wr. wb Saya mohon penjelasan tentang shalat sunnah sebelum (Qobliyah) dan sesudah (Ba' diyah) Shalat jum'at, karena memang selama ini sering saya lakukan akan tetapi Saya belum tahu apa haditsnya (riwayatnya). Pertanyaan ini timbul setelah ada yang mengatakan kepada Saya bahwa Qobliyah / Ba'diyah jum' at itu tidak ada, sedangkan saya sering lakukan karena mengikuti para guru dan belum terpikirkan apa hadits dan riwayatnya, karena ibadah tanpa ilmu akan percuma.
Yth, Bpk. Kyai, Assalamu 'alaikum wr. wb Saya mohon penjelasan tentang shalat sunnah sebelum (Qobliyah) dan sesudah (Ba' diyah) Shalat jum'at, karena memang selama ini sering saya lakukan akan tetapi Saya belum tahu apa haditsnya (riwayatnya). Pertanyaan ini timbul setelah ada yang mengatakan kepada Saya bahwa Qobliyah / Ba'diyah jum' at itu tidak ada, sedangkan saya sering lakukan karena mengikuti para guru dan belum terpikirkan apa hadits dan riwayatnya, karena ibadah tanpa ilmu akan percuma. Demikian permohonan Saya, sambil menunggu kabar Saya Sampaikan terima kasih.
Wassalamu 'alaikum wr. wb
Trisno Hardiyanto
Yang terhormat saudara penanya:
Para ulama sepakat bahwa sholat sunnat yang di lakukan setelah sholat Jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam muslim dan Imam Bukhori. Sedangkan sholat sunnah sebelum sholat Jum'at terdapat dua kemungkinan:
1. Sholat sunnat mutlaq, hukumnya sunnat. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah.
2. Sholat sunnat Qobliyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat seputar masalah ini, yaitu sbb. :
a. Dianjurkan melaksanakannya. Pendapat ini di kemukakan oleh Imam abu Hanifah, pengikut Imam Syafi'i (menurut pendapat yang dalilnya lebih jelas) dan pendapat Pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayatnya yang tidak masyhur.
b. Tidak di anjurkan untuk melaksanakannya.yaitu pendapat imam Malik, pengikut Imam Ahmad bin Hanbal dalam riwayatnya yang masyhur. Dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnat qobliyah Jum'at:
1.Hadist Rosul yang artinya "Semua sholat fardlu itu pasti diikuti oleh sholat sunnat qobliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair). Hadist ini secara umum menerangkan adanya sholat sunnat qobliyah tanpa terkecuali sholat Jum'at.
2.Hadist Rosul yang artinya "Di antara dua adzan dan iqomat terdapat sholat sunnat,diantara dua adzan dan iqomat terdapat sholat sunnat, di antara dua adzan dan iqomat terdapat sholat sunnat bagi yang ingin melakukannya"(HR.Bukhori dan Muslim dari riwayat Abdullah Ibnu Mughoffal).
3.Perbuatan Nabi yang disaksikan oleh Ali Bin Abi Tholib yang berkata "Nabi telah melakukan sholat sunnah empat rakaat sebelum dan setelah sholat jumu'at dengan salam di akhir rakaat ke empat" (HR.Thabrani dalam kitab Al-Ausath dari riwayat Imam Ali Bin Abi Tholib).
Tetapi dalam dalam kitab yang sama lewat riwayat Abi Hurairoh berkata"nabi telah melakukan sholat sunnat dua rakaat qobliyah dan ba'diyah Jum'at" Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya sholat sunnat qobliyah Jum'at adalah sbb. : Hadist dari Saib Bin Yazid: "pada awalnya, adzan Jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqomat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqomat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim). Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat "ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi langsung berkhotbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khotbah, lantas kapan mereka itu melaksanakan sholat sunnat qobliyah Jum'at?
Catatan : Permasalahan ini adalah khilafiyah furu'iyyah.(perbedaan dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh fanatik di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqh mengatakan la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih.(Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan kita tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati ulama.)
Sekian semoga membantu.

MachmudiDewan pengasuh Pesantren Virtual

Menepis Dengki Membangun Kesabaran

Menepis Dengki Membangun Kesabaran


Oleh: Dewan Asatidz
Dengki atau sirik atau hasud itu tidak sekedar dosa biasa, bahkan dianggap bahaya, karenanya harus dijauhi. Dalam Al-Qur'an sendiri dalam surat al-Falaq, Allah memerintah Nabi Muhammad untuk berlindung dari tindakan penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud tersebut. Mengapa hasud itu sangat berbahaya? Assalumu'alaikum wrb Salam kenal Hallo apa kabar nih mudah-mudahan baik amin ya robbal amin. Saya ingin bertanya yang mungkin bermanfaat bagi saya walaupun sudah ada yang bertanya saya mohon dikirim ke mail saya. Sebelumnya dan sesudahnya saya ucapkan terima kasih. Pertanyaan: 1.Apa manfa'at, makna syahadat? 2.Adakah syarat, rukun, pembatalan dari syahadat itu? sedangkan rukun islam yang lain ada, misalnya ada tolong di uraikan. 3.Boleh tidak saya minta nasehat untuk diri saya yang tidak ada kesabaran, suka sirik kepada orang lain dan dengki? Wassalam Irhan --------- Jawab --------- Irhan yang baik, sebelumnya saya meminta agar Saudara bersedia melengkapi biodata. 1. Syahadat artinya kesaksian. Kesaksian bahwa tiada Allah selain Allah itu sendiri, dan Nabi Muhammad adalah utusanNYA. Syahadat ini tolok ukur seseorang dianggap sebagai muslim atau tidak. Jika dia mau bersaksi/bersyahadat lahir-batin maka dia menjadi muslim, bila tidak ya tidak. 2. Syahadat adalah rukun atau tiang (agama) Islam yang pertama. Kedua shalat, ketiga zakat, keempat puasa, dan kelima haji. Tanpa didahului syahadat ibadah-ibadah lainnya termasuk keempat rukun setelah syahat di atas tidak sah. Misal saja orang non muslim melakukan shalat, puasa, dll, maka ibadah-ibadahnya tersebut tidak diterima. Syahadat yang dilakukan seseorang otomatis menjadi batal jika dia melakukan hal-hal yang menjadikannya kafir. Misal, ia tidak mengakui kenabian Muhammad saw., tidak mengakui bahwa puasa Ramadan itu wajib, dll. 3. Dengki atau sirik atau hasud itu tidak sekedar dosa biasa, bahkan dianggap bahaya, karenanya harus dijauhi. Dalam Al-Qur'an sendiri dalam surat al-Falaq, Allah memerintah Nabi Muhammad untuk berlindung dari tindakan penghasud. Ini cukup menunjukkan betapa bahayanya tindakan hasud tersebut. Mengapa hasud itu sangat berbahaya? Pertama, bermula dari ketidaksenangan terehadap kebahagiaan seseorang, biasanya hasud lantas diiringi dengan keinginan mencelakakan orang tersebut. Kedua, ia merupakan serangan sepihak, tanpa orang yang dihasud tahu kapan dan dari mana asalnya serangan. Serangan sepihak seperti ini tentu lebih bahaya, karena pihak yang diserang tidak punya persiapan untuk balas melawan atau bertahan. Serangan di sini tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik, tapi bisa juga berujud fitnah. Ketiga, di samping berbahaya bagi orang lain, hasud adalah sumber kesengsaraan bagi diri penghasud. Rasulullah bersabda: "Jauhilah olehmu semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan, sebagaimana api melalap kayu bakar yang kering." Ini artinya, kebaikan-kebaikan yang kita lakukan tidak ada artinya jika kita masih suka menghasud. Jelasnya demikian: karena hasud itu merupakan rasa ketidaksenangan atas kebahagiaan orang lain, dan bahkan bisa diiringi dengan tindakan yang mencelakakan orang tersebut, maka sebenarnyalah hasud itu membuktikan bahwa kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan itu hanya bohong-bohongan belaka. Karena hati kita ternyata masih menyimpan keinginan (bahkan rencana-rencana) mencelakakan orang lain. Hasud, dengan ungkapan lain, adalah membangun kebahagiaan diri kita di atas kesengsaraan orang lain, dan sebaliknya, kesengsaraan diri kita atas kebahagiaan orang lain. Sekarang yang terpenting mengetahui kenapa sampai timbul hasud (iri, dengki, dan semacamnya)? Sebab utama munculnya hasud adalah ketiadaan rasa syukur atas nikmat-nikmat Allah yang kita terima. Kita selalu saja beranggapan "the grass over the fence always looks greener" (rumput di ladang orang lain selalu nampak lebih hijau), orang lain senantiasa lebih banyak kenikmatannya dari kita. Akibatnya muncul rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri disertai iri, dengki, lalu hasud. Ini senada dengan penegasan Allah : "Dan ingatlah ketika Tuhanmu sekalian menegaskan, jika kamu benar-benar bersyukur maka pasti Aku akan tambahi (karunia) bagi kamu, dan jika kamu benar-benar ingkar maka sesungguhnya azab-Ku amat pedih." (QS. Ibrahim/14:7) Kalau kita pandai-pandai mensyukuri nikmat yang kita terima maka kenikmatan akan terus bertambah, dan sebaliknya, kalau tidak kesengsaraan terus bertambah. Baik kenikmatan dan kesengsaraan di sini tidak harus langsung berujud materi, tapi rasa, sikap, dan nuansa batin. Kita sepenuhnya sadar, siapapun tidak akan sukses dunia-akherat tanpa rasa percaya diri, optimis, bahagia/senang (atas nikmat yang kita terima atau yang diterima orang lain), semangat, dan semacamnya. Dan yang menjadi pangkal kegagalan adalah adanya penyakit-penyakit batin: rasa tidak percaya diri, pesimis, iri, dengki, dan semacamnya. Yang terakhir, teruslah berdoa mohon ampunan Allah, mohon agar dikaruniai ketulusan, mudah mensyukuri nikmat yang kita terima dan diterima orang lain, agar dihindarkan dari rasa/sikap dengki, iri, hasud, dan sikap-sikap negatif lainnya, dan sebaliknya agar dikaruniai sikap-sikap positif. Perlu saya tegaskan, doa itu tidak harus dipanjatkan dengan bahasa Arab, tapi yang penting adalah kita tahu apa yang kita panjatkan disertai hati khusyuk dan memelas. Allah Maha Tahu apa yang terlintas dlm hati kita. 4. Tentang kesabaran, "kesabaran" itu menempati spektrum yang luas. Sabar atas cobaan dan penderitaan, sabar atas datangnya musibah, sabar menjalani program-program yang telah direncanakan sampai mencapai target, sabar menunggu teman, dll. Singkatnya, kesabaran itu tidak hanya musti dikerahkan pada saat-saat tertimpa duka saja, tapi juga saat-saat suka. Kita perlu kesabaran ketika mengalami saat-saat suka agar kita tidak terlena dengan kesuka-riaan kita. Dan perlu diketahui, kesabaran itu adalah sikap yang amat terpuji. Nabi Muhammad saw sendiri dalam sebuah ayat diperintahkan untuk bersabar dan dilarang memohon pada Allah untuk menyegerakan siksa bagi musuh-musuhnya: "Maka bersabarlah kamu seperti sabarnya para Rasul yang mempunyai keteguhan hati dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka." (QS. 46:35) Dan banyak ayat-ayat lain yang menegaskan betapa pentingnya sikap sabar itu. "...dan bersabarlah, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. 8:46) "Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS. 11:115) "Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan." (QS. 16:127) "Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan." (QS. 38:17) "Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi." (QS. 40:55) Setelah tahu bahwa kesabaran itu sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak, perlu diketahui pula apa sih kesabaran itu? Kesabaran adalah kesadaran untuk bertindak secara kontinyu atau terus-menerus sesuai logika dan agama. "Kesadaran untuk bertindak" berarti bertindak dengan sadar. Tindakan tidak sengaja atau di luar kesadaran tidak bisa disebut kesabaran. "Kesadaran untuk bertindak" juga berarti tidak diam atau vakum, karena kevakuman itu sendiri adalah tidak baik. Bahkan diam saja sementara zaman terus berubah itu sama saja dengan kemunduran. Jadi, "Kesadaran untuk bertindak secara kontinyu sesuai logika dan agama" berarti tekad untuk bertindak secara sadar dan kontinyu sesuai logika dan norma-norma agama dalam segala situasi-kondisi dan kapanpun. Manakala kontinyuitas itu terputus, otomatis kesabaran menjadi terputus. Ini juga menunjukkan bahwa kesabaran sesuai ajaran agama kita dilakukan dengan tanpa batas, kita harus bersabar tanpa mengenal batas. Jangan semata karena motor kita dicuri lantas kita menggebuki pencurinya sampai mati; jangan karena kebandelan anak kita menghajarnya habis-habisan; jangan karena tahu ada acara yang lebih menarik kita tinggalkan janji; jangan karena sang kekasih meninggalkan kita lantas kita putus asa; dll. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, kapan kesabaran hilang, otomatis emosi/amarah tidak terkontrol merasuk, lantas mendorong kita melakukan hal-hal negatif. Memang, mustahil manusia terlepas total dari emosi (hanya berlandaskan logika dan agama) , sehebat apapun dia. Persoalannya bukan kita hendak membebaskan diri dari emosi, tapi mengendalikannya agar kita termotivasi berbuat hal-hal positif. Lantas, bagaimana kita bisa berlaku sabar? Kita akan bisa berlaku sabar setelah mengetahui apa sebab utama ketidaksabaran, dan setelah tahu kita mau mengatasinya. Tiada lain adalah faktor atau sebab utama ketaksabaran adalah ketidakmauan atau ketidakmampuan berfikir panjang dan ketidakmauan atau ketidakmampuan mengambil hikmah/pelajaran dari kejadian yang dihadapinya. Untuk mengatasinya, PERTAMA kita harus membiasakan diri berfikir panjang mengenai sebab-akibat yang berkaitan dengan tindakan yang akan kita lakukan. Kita bikin daftar panjang: andai saya begini kira-kira apa yang akan terjadi, lantas akan berdampak apa.. terus apa...terus apa, dst; seandainya saya begitu kira-kira apa akibatnya, lantas akibat ini akan membuahkan apa.. lalu apa...lalu apa, dst. Kemauan berfikir seperti ini akan membuat kita tahu apa yang seharusnya dan sebaiknya kita lakukan. Kita bikin skala prioritas: mana yang harus dikerjakan lebih dulu, lalu yang harus berikutnya, dst. Sebab, tidak mungkin kita bisa bersabar tanpa mengetahui bahwa apa yang seharusnya kita perbuat itu baik. KEDUA, kita harus pandai-pandai mengambil hikmah dari kejadian yang menimpa kita. Kalau tertimpa kesedihan jangan lantas kita lupa daratan, demikian pula kalau dikaruniai nikmat yang luar biasa. Tapi ambillah hikmah atau pelajaran dari sebuah kejadian. Misalnya sepeda motor kita dicuri orang, maka setidaknya hikmah itu berupa kesadaran "betapa nikmatnya orang memiliki sepeda motor, bisa ke sana kemari dengan cepat, bisa bekerja dg waktu yang sangat efisien." Munculnya kesadaran seperti ini adalah sebuah nikmat pula, yang boleh jadi memicu kita untuk bekerja lebih baik di masa-masa mendatang. Itu hikmah yang paling minim kita rasakan setelah hilangnya sebuah kenikmatan. Perlu diketahui, kebanyakan orang itu tidak menyadari adanya sebuah kenikmatan kecuali setelah hilangnya kenikmatan tersebut. Juga kebanyakan orang merasa harus bersabar setelah mengalami keadaan sulit. Namun hendaknya kita jangan seperti kebanyakan orang itu. Tapi galilah hikmah-hikmah lainnya yang intinya menuntut kita untuk berbuat lebih baik. Bila kehilangan motor, kita telusuri sebab akibatnya: oh, salah sendiri saya tidak menguncinya; oh, salah sendiri saya terlalu lama meninggalkannya; oh salah sendiri saya tidak menitipkannya di tempat penitipan yang aman. Kita gali semua kemungkinan-kemungkinan penyebabnya, lantas kita bertekad agar keteledoran-keteledoran itu tidak terulang di waktu mendatang. Sampai kita pada kesadaran bahwa kebaikan atau kenikmatan itu adalah kesabaran itu sendiri. Pernah ada seseorang mengeluh ke Rasulullah: "Wahai Rasul, harta saya hilang dan badan saya sakit." Jawab beliau: "Kebaikan (keberuntungan) itu tidak terdapat pada orang yang hartanya tidak hilang dan badannya tidak sakit. Sebab, jika Allah itu memang mencintai seorang hamba maka Allah menurunkan cobaan padanya lantas membekalinya kesabaran." Dalam hadis lain, Nabi bersabda: "Besok di hari Kiamat didatangkan orang yang paling banyak kenikmatan duniawinya, lantas dimasukkanlah orang itu sebentar di neraka dan dikeluarkan dalam keadaan hangus terbakar, setelah itu ditanya: 'Apakah selama kamu di dunia selalu mendapati kenikmatan duniawi?' Jawabnya: 'Tidak. Saya selalu menemui cobaan sejak saya tercipta.' Dan didatangkan juga orang yang paling berat cobaan hidupnya di dunia, lalu dimasukkan ia ke surga sesaat dan dikeluarkan dalam keadaan bersinar laksana bulan purnama, lantas ditanya: 'Apakah selama di dunia kamu selalu tertimpa cobaan?' Jawabnya: 'Tidak. Saya senantiasa mengalami kenikmatan sejak saya tercipta.'" Kedua hadis itu menegaskan bahwa kebaikan/kenikmatan itu tidak identik dengan sesuatu yang mengenakkan, seperti harta benda. Tapi kebaikan/kenikmatan adalah kesabaran itu sendiri. Sebab andai saja kita kaya raya, maka itu berarti cobaan: apakah kita bisa dg sabar membelanjakan harta di jalan yang benar? Bila dikaruniai ilmu yang tinggi, maka apa kita akan kontinyu mengamalkan ilmu demi kebenaran? Bila dikaruniai fisik sempurna, sehat tidak kurang suatu apa, maka apakah kita akan senantiasa menggunakan kesehatan tersebut untuk hal-hal yang manfaat? Pertanyaan-pertanyaan (muhaasabah) seperti inilah yang perlu kita bisikkan terus-menerus dlm hati dan pikiran kita. Demikian sekelumit nasehat ini, semoga bermanfaat bagi saya, Anda, dan saudara-saudara kita yang lain. Tulisan singkat ini sama sekali tidak menyarankan agar meninggalkan kenikmatan dunia. Tapi adalah penegasan bahwa kita harus bekerja sebaik-baiknya di bidang masing-masing. Kewajiban bekerja itu bukan semata untuk menumpuk harta, tapi untuk mencari harta yang harus (senantiasa/kontinyu) kita gunakan sebaik-baiknya. Kewajiban menuntut ilmu setinggi mungkin tidak hanya agar kita menjadi pintar (apalagi sekedar mendapat gelar), tapi agar senantiasa bisa memanfaatkannya untuk kebaikan. Arif Hidayat

Risalah 10) Futuhul Ghaib

(Risalah 10) Futuhul Ghaib


Oleh: Dewan Asatidz
Ia bertutur:Sungguh tiada sesuatu, kecuali Allah, sedang dirimu adalah tandanya. Kedirian manusia bertentangan dengan Allah. Segala suatu patuh kepada Allah dan milik Allah, demikian pula dengan kedirian manusia, sebagai makhluk sekaligus milikNya. Kedirian manusia itu pongah, darinya tumbuh dambaan-dambaan palsu.
Nah, jika kau menyatu dengan kebenaran, dengan menundukkan dirimu sendiri, maka kau menjadi milik Allah dan menjadi musuh dirimu sendiri. Allah telah bersabda kepada Nabi Daud as: "Wahai Daud, Akulah tujuan hidupmu, yang tak mungkin kau elakkan. Karenanya berpegangteguhlah kepada tujuan yang satu ini; beribadahlah sebenar-benarnya, sampai kau menjadi lawan keakuanmu, semata-mata karena Aku." Maka keakrabanmu dengan Allah dan pengabdianmu kepadaNya menjadi kenyataan. Lalu kau peroleh bagianmu nan suci sungguh menyenangkan. Dengan demikian kau dicintai dan terhormat, dan segala sesuatu mengabdi dan takut kepadamu, karena semua tunduk kepada Tuhan mereka, dan selaras denganNya, karena Dia adalah Pencipta mereka, dan mereka mengabdi kepadaNya.Firman Allah: "Dan tak ada sesuatu pun melainkan bartasbih memujiNya, tetapi kamu tak mengerti tasbih mereka." (QS 17:44). Maka segala sesuatu di alam raya ini menyadari keridhaanNya, dan menaati perintah-perintahNya. Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Agung berfirman: "Lalu Ia berkata kepadanya dan kepada bumi, 'Hendaklah kamu berdua datang dengan suka ataupun terpaksa', Keduanya menjawab, 'Kami datang dengan suka hati.'" (QS 41:11). Jadi, segala pengabdian kepadaNya terletak pada penentangan terhadap kedirian. Allah berfirman: "Dan janganlah engkau turuti hawa nafsumu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah." (QS 38:26). Ia juga berfirman: "Hindarilah hawa nafsumu, karena sesungguhnya tak ada sesuatu pun yang menentangKu di seluruh kerajaanKu, kecuali nafsu jasmani manusia." Suatu ketika Abu Yazid Bustami bermimpi bertemu Allah, dan bertanya kepadaNya: "Bagaimana cara menjumpaiMu ?" JawabNya: "Buanglah keakuanmu dan berpalinglah kepadaKu". "Lalu", lanjut sang Sufi, "aku keluar dari diriku bagai seekor ular keluar dari selongsong tubuhnya." Jadi, segala kebajikan terletak pada memerangi kedirian dalam segala hal dan segala keadaan. Karena itu, jika berada pada kesalehan, tundukkanlah kedirian, hingga kau terbebas dari hal-hal terlarang dan syubhat *) dari pertolongan mereka, dari ketergantungan kepada mereka, dari rasa takut terhadap mereka atau dari rasa iri terhadap milikan duniawi mereka. (* Syubhat: sesuatu yang meragukan ihwal halal atau haramnya). Lalu jangan mengharapkan sesuatu dari mereka, baik hadiah, kemurahan, atau pun sedekah. Karenanya bila kau bergaul dengan seorang kaya, jangan mengharapkan kematiannya demi mewarisi hartanya,. Maka, bebaskanlah dirimu dari ikatan makhluk, dan anggaplah mereka itu pintu gerbang yang membuka dan menutup., atau pohon yang kadang berbuah dan kadang tidak. Ketahuilah, peristiwa semacam itu terjadi oleh satu pelaksana, dirancang oleh satu perancang, dan Dialah Allah, sehingga kau beriman pada Keesaan Allah.Jangan pula melupakan upaya manusiawi, agar tak menjadi korban keyakinan kaum fatalis (Jabariyyah), dan yakinlah bahwa tak suatu pun terwujud, kecuali atas izin Allah Ta'ala. Karena itu, jangan Anda puja upaya manusiawi, karena yang demikian ini melupakan Tuhan, dan jangan berkata bahwa tindakan-tindakan manusia berasal dari sesuatu. Bila demikian, berarti kau tak beriman, dan termasuk dalam golongan Qadariyah. Hendaknya kau katakan, bahwa segala aksi makhluk adalah milik Allah, inilah pandangan yang telah diturunkan kepada kita lewat keterangan-keterangan yang berhubungan dengan masalah pahala dan hukuman.Dan laksanakan perintah-perintah Allah yang berkenaan dengan mereka (manusia), dan pisahkanlah bagianmu sendiri dari mereka dengan perintahNya pula, dan jangan melampaui batas ini, karena hukum Allah itu pasti menentukanmu dan mereka; jangan menjadi penentu diri sendiri. Kemaujudanmu bersama mereka merupakan takdirNya. TakdirNya merupakan 'kegelapan', maka masukilah 'kegelapan' ini dengan pelita sekaligus penentu; yaitu Kitab Allah (Al Qur'an) dan Sunnah Rasul. Jangan tinggalkan kedua-duanya. Tapi bila di dalam pikiranmu melintas suatu gagasan, atau kau menerima ilham, maka tundukkanlah mereka kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul. Bila kau dapati larangan dari Al Qur'an dan Sunnah Rasul tentang yang terlintas pada benakmu dan yang kau terima melalui ilham, maka kau mesti menjauhi gagasan dan ilham semacam itu. Yakinilah bahwa gagasan dan ilham itu berasal dari setan yang terlaknat. Dan jika Kitab Allah dan Sunnah Rasul membolehkan gagasan dan ilham itu - semisal pemenuhan keinginan-keinginan yang dibolehkan hukum, seperti makan, minum, berpakaian, menikah, dan lain-lain - maka jauhilah pula gagasan dan ilham itu, jangan menerimanya. Ketahuilah, hal itu merupakan dorongan hewanimu, karenanya, tentanglah dan musuhilah hal itu.Bila kau dapati tiadanya larangan atau pembolehan di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul, tentang yang kau terima, dan kau tak mengrti -semisal kau diminta pergi ke tempat tertentu, atau menemuhi seseorang yang saleh, padahal melalui karunia ilmu dan pencerahan dari Allah kepadamu, kau tak perlu pergi ke tempat itu, atau menemui si orang saleh itu maka bersabarlah, jangan dulu melakukan sesuatu, dan bertanyalah kepada dirimu sendiri: "Benarkah ini ilham dari Allah dan mesti aku laksanakan ?" Adalah Sunnah Allah, mengulang-ulang ilham semacam itu, dan memerintahkanmu untuk segera berupaya atau menyibakkan isyarat semacam itu bagi para ahli hikmah - suatu isyarat yang hanya bisa dimengerti oleh para wali yang arif dan para badal yang teguh. Karena itu, kau mesti tak segera berbuat, sebab kau tak tahu akibat dan tujuan akhir urusan, cobaan, bahaya dan sesuatu rancangan gaib dariNya.Maka bersabarlah, sampai Allah Sendiri melakukannya bagimu. Bila tindakan itu atas kehendakNya, dan kau diantarkn ke maqam itu, maka bila cobaan menghadangmu, kau akan melewatinya dengan selamat, karena Allah takkan menghukummu atas tindakan yang dikehendakiNya sendiri, namun Ia akan menghukummu atas keterlibatan langsungmu dalam kemaujudan suatu hal. Menaati perintah itu meliputi dua hal. Pertama, mengambil dari sarana penghidupan duniawi sebatas keperluanmu, dan mesti menghindari segala pemanjaan kesenangan jasmani, rampungkanlah semua tugas-tugasmu, dan ikatlah dirimu kepada penghalauan segala dosa, yang nyata dan yang tersembunyi. Kedua, berhubungan dengan perintah-perintah-perintah tersembunyi, yakni Allah tak menyruh hambaNya untuk mengerjakan sesuatu, dan tak pula melarangnya. Perintah seperti ini berkaitan dengan hal-hal yang padanya tak ada hukum yang jelas; yakni hal-hal yang tak tergolong terlarang dan tak terwajibkan, dengan kata lain 'tak jelas', yang di dalamnya manusia diberi kebebasan penuh untuk bertindak, dan hal ini disebut mubah. Dalam hal ini tak boleh mengambil prakarsa, tetapi menunggu perintah yang bertalian dengannya. Bila menerima perintah itu, ia taati. Dengan demikian semua gerak dan diamnya menjadi demi Allah.Jika ada kejelasan hukumnya, ia bertindak selaras dengannya. Bila tak ada kejelasan hukumnya, ia bertindak atas dasar perintah-perintah tersembunyi. Melalui ini, ia menjadi seteguh orang memperoleh hakikat. Bila kau telah sampai pada kebenarannya kebenaran, yang disebut pencelupan (mahwu) atau peleburan (fana), berarti kau berada pada maqam badal yang patah hati demi Dia, suatu keadaan yang dimiliki muwahhid, oarang yang tercerahkan ruhaninya, orang arif, yang adalah amir para amir, pengawas dan pelindung umat, khalifah dati Yang MahaPengasih, kepercayaanNya (alaihimussalam).Untuk menaati perintah, kau harus melawan kedirianmu, dan bebas dari ketergantunagn kepada segala kemampuan dan kekuatan, dan mutlak harus terhindar dari segala kemauan dan tujuan duniawi dan ukhrawi. Dengan demikian, kau menjadi abdi Sang Raja, bukan abdi kerajaanNya, bukan abdi perintahNya, bukan pula abdi kedirian. Kau seperti bayi dalam asuhan alam, atau mayat yang dimandikan, atau pasien tak sadarkan diri di hadapan sang dokter, dalam segala hal yang berada di luar wilayah perintah dan larangan.

Anak Sebagai Permata Hati Orang Tua

Anak Sebagai Permata Hati Orang Tua


Oleh: Dewan Asatidz
Saat ditinggal mati putra harapan yang lahir dari Mariah al-Qibtiyah, Ibrahim, Rasulullah (saw) tidak menampakkan kesedihan. Beliau berujar di hadapan para sahabat,�Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, semoga anak yang masih kecil ini akan membantu orang tuanya untuk memasuki surga.� Nabi tidak terlalu bersedih, karena beliau tahu bahwa dengan meninggalnya anak kecil yang belum berdosa, ia terbebas dari hisab (perhitungan) dan langsung masuk surga. Dengan begitu ia bisa menolong kedua orang tuanya ikut bersama menikmati kebahagian akhirat. Anak dalam keluarga adalah permata hati, labuhan jiwa dan harapan masa depan. Pada diri orang tua, anak adalah muara kecintaannya. Sebuah perasaan yang fitrah dari orang tua terhadap anak-anaknya, datang sebagai naluri. Allah tidak melarang adanya kecintaan pada anak, karena cinta kepada mereka adalah wajar, asal tidak berlebihan. Sedang, cinta yang berlebihan hanya akan melahirkan kekecewaan dan kesedihan. Saat ditinggal mati putra harapan yang lahir dari Mariah al-Qibtiyah, Ibrahim, Rasulullah (saw) tidak menampakkan kesedihan. Beliau berujar di hadapan para sahabat,�Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, semoga anak yang masih kecil ini akan membantu orang tuanya untuk memasuki surga.� Nabi tidak terlalu bersedih, karena beliau tahu bahwa dengan meninggalnya anak kecil yang belum berdosa, ia terbebas dari hisab (perhitungan) dan langsung masuk surga. Dengan begitu ia bisa menolong kedua orang tuanya ikut bersama menikmati kebahagian akhirat. Pada sisi lain, Allah (swt) memberi nasehat bahwa anak-anak kita bukanlah inti kehidupan dan kebahagian. Mereka hanyalah penghias dalam rentang hidup yang membuat serasa hidup lebih nikmat dan indah. Sehingga, diharapkan manusia tidak lupa akan kesejatian hidup dan hakekat kebahagiaan, dengan begitu, tidak berlebihan dalam mencintai anak-anaknya. Firman-Nya,� Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, …�(Q.S. Ali Imran : 14) Anak dan Istri adalah tanggung jawab, titipan Allah. Mereka adalah amanah yang harus dijaga : dipelihara kehidupan mereka di dunia dan nasibnya kelak di akhirat. Kata Allah (swt),�Hai orang-orang beriman, jagalah diri kamu dan keluargamu dari sentuhan api neraka…�(Q.S. al-Tahrim : 6). Dari itu, peran orang tua sangat vital dalam mendorong anak-anaknya menjadi orang-orang saleh. Sabda Rasulullah dari riwayat Imam Hakim,�Tiada satu pun pemberian (berharga) yang dihadiahkan orang tua terhadap anaknya yang paling utama kecuali tata krama yang baik.� Jiwa anak terbentuk oleh peran-peran orang-orang disekitarnya. Pada masa-masa remaja, lingkungan dan teman pergaulan lebih menentukan, sedang pada masa-masa dini pengaruh orang tua adalah perkara awal dalam melukis jiwa anak. Orang tua merupakan orang pertama yang dikenal oleh anak-anak. Nabi (saw) menegaskan, “Tiap-tiap anak yang dilahirkan pasti dalam keadaan suci, sampai sampai lisannya mampu mengungkapkan keadaannya sendiri. Maka kedua orang tuanya sendiri yang menjadikan apakah sebagai orang yahudi, Kristen atau Majusi.� (H.R. Imam al-Aswad ibnu Surai’) Pada kesempatan lain, Rasulullah (saw) mengingatkan, �Kewajiban seorang ayah terhadap anaknya ialah (1) sebaiknya memberikan nama yang baik, (2) mendidik dengan baik, (3) mengajari menulis, (4) mengajari berenang, (5) mengajari memanah. Dan hendaknya tidak memberikan nafkah kecuali dari rezki yang halal. Dan hendaknya menikahkan dia bilamana usianya sudah mencukupi.� Mengajari memanah dan berenang pada hadits ini, berkenaan dengan situasi dan kondisi Mekkah pada masa itu, dianggap sebagai sebuah simbol keutamaan yang penting. Bagimanapun anak adalah generasi penerus, pembawa estafet silsilah gen kita dan pelanjut kesejarahan spesis manusia di muka bumi. Pembentukan jiwa anak yang kuat dengan muatan keimanan dan keagamaan yang kokoh, berarti telah mempersiapkan sebuah generasi yang siap bertarung dengan kehidupan dunia yang sangat keras, kadang-kadang kejam dan seringkali menuntut pengorbanan. Tak ada falsafah dan ajaran yang lebih sesuai dengan kondisi ini selain ajaran Muhammad (saw) yang mengajarkan setiap Muslim untuk selalu berpartisipasi aktif dalam setiap pergolakan kesejarahan manusia yang telah dibekali ajaran Islam yang lebih manusiawi. Tugas ini Nabi (saw) tegaskan, “Tiap-tiap kamu adalah seorang pemimpin, dan tiap kamu akan dimintai pertanggung-jawaban atas apa yang dipimpinnya.� (H.R. Bukhari & Muslim) Disamping sebagai kebanggaan, anak adalah tanggung jawab, amanah yang harus dijunjung tinggi. Dan kelak dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah. Wallahu a’lam. Rizqon Khamami

Tentang Surah Az-Zukhruf: 18

Tentang Surah Az-Zukhruf: 18


Oleh: Dewan Asatidz
Ketika saya membuka Surat Az-Zukhruf 18 : Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. Hal ini juga pernah ditanyakan oleh Teman Saya, yang tercetak Tebal (Menjadi Anak Allah). Saya mohon penjelasan menjadi anak Allah maksudnya gimana ya ? Hal ini kan bertentangan dengan surat Al-Ikhlas. Tanya Jawab [438]: Tentang Surah Az-Zukhruf: 18 Assalamu'alaikum war.wab. Saya adalah hamba Allah yang sedang menuntut dan memahami Al-Quran. Ketika saya membuka Surat Az-Zukhruf 18 : Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran. Hal ini juga pernah ditanyakan oleh Teman Saya, yang tercetak Tebal (Menjadi Anak Allah). Saya mohon penjelasan menjadi anak Allah maksudnya gimana ya ? Hal ini kan bertentangan dengan surat Al-Ikhlas. Setahu saya Surat tersebut menjelaskan tentang Wanita dan perhiasan. Saya mohon penjelasan yang lebih mendalam dari Bapak/Ibu Moderator. Saya takut, bagian yang tersurat tersebut dipakai oleh pihak2 yang tidak bertanggung untuk orang-orang awam islam. Terima Kasih. Wassalam, Irawan ------- Jawab ------- Sdr. Irawan, Ungkapan ayat tersebut berupa pertanyaan, "Apakah patut" atau "Patutkah". Lengkapnya akan menjadi begini: "Patutkah orang yang dibesarkan dalam keadaan suka berhias--yakni, perempuan (menjadi anak Allah), sedang dia tak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran?" Sampai di sini, ayat tersebut seolah-oleh mengatakan ada yang patut menjadi anak Allah, tapi bukan perempuan. Lantas siapa? Kalau kita hanya membaca sepotong ayat itu, maka maksudnya belum tampak jelas. Agar ayat tersebut jelas dan mudah dipahami, maka bacalah mulai ayat 15 sampai ayat 19. Pada ayat 15 dikatakan: "Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian daripada-Nya. Sungguh manusia itu pengingkar yang nyata." Penjelasan: Mereka (orang yang kafir atau musyrik) menjadikan sebagian makhluk-Nya sebagai bagian dari-Nya (bagian di sini berarti bagian dari Allah, bisa berupa anak, isteri, keluarga atau teman dan sekutu). Dan yang dimaksud di sini adalah anak. Mereka (orang yang kafir atau Musyrik) menganggap anak-anak Allah itu perempuan, seperti para Malaikat, menurut mereka, adalah perempuan dan menjadi anak Allah. Jangankan menganggap Malaikat sebagai perempuan dan menjadi bagian atau anak Allah, mengganggap Allah memiliki bagian/anak pun sudah merupakan pengingkaran dan kemusyrikan (perhatikan ayat ke 15, "innal insana lakafurun mubin"). Dalam ayat berikutnya, Tuhan lebih memerinci pada perkataan-perkataan para pengingkar tersebut yang memilihkan jenis kelamin perempuan untuk Allah dan jenis kelamin laki-laki untuk diri mereka sendiri. Jangankan sampai memilihkan jenis kelamin, meyakini Tuhan punya anak/bagian saja sudah merupakan bentuk pengingkaran. Begitu maksudnya. Ketika Anda membaca Alquran terjemahan, jangan terganggu dengan pemisahan-pemisahan yang dibuat oleh si Penerjemah, semisal judul yang ditulis denga huruf kapital dalam terjemahan Depag. Karena belum tentu pemisahan itu tepat, begitu pula terjemahannya. Barangkali terjemahan kami bisa membantu pemahaman Anda. Akan kami terjemahkan mulai ayat ke 15 sampai 19, sebagai berikut: Setelah dijelaskan pada ayat ke 9, tentang jawaban orang-orang musyrik/kafir seandainya ditanya "siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" Sungguh mereka akan menjawab, "Tuhan yang Maha Perkasa dan Maha Mengetahui yang menciptakannya." Tuhan masih mencela mereka karena: 15. Meskipun begitu, mereka menjadikan beberapa hamba-Nya sebagai bagian dari-Nya (dengan menganggap Allah memiliki anak, dan menempatkan anak itu sebagai sesembahan pula). Sungguh, manusia dalam pengingkaran yang nyata!!; 16. Atau, apakah Dia mengambil anak perempuan dari yang diciptakan-Nya dan memilihkan anak laki-laki untukmu?!; 17. Dan apabila salah seorang di antara mereka diberitahukan kabar (kelahiran perempuan), yang sebelumnya menjadi perumpamaan yang dia atributkan kepada Yang Maha Pemurah, mukanya menghitam dan dia merasa sangat sedih!; 18. (Seperti mereka-kah yang untuk Allah), ciptaan yang dikeluarkan dalam keadaan suka berhias (memakai sutera dan emas, yakni perempuan), dan yang dalam perselisihan tak bisa mengendalikan diri (karena itu, alasan-alasannya menjadi tak jelas dan logis)?!; 19. Dan mereka menjadikan para Malaikat, yang para Malaikat ini adalah hamba-hamba Yang Maha Pemurah, sebagai perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaannya? Kesaksian/pernyataan mereka akan dicatat dan mereka akan ditanyai! Wallahu a`lam. Demikian, semoga membantu. Wassalam Shocheh Ha.